Setiap 1 Mei, gerakan buruh terus dilakukan. Perjuangan kaum buruh tak
selalu mulus. Berbagai persoalan nasib para buruh di Indonesia, tak selalu
berbuah manis. Persoalan buruh selalu berhubungan dengan kebijakan dan
keinginan hidup layak. Bisa dikatakan ada relasi kekuasaan yang mendera
perjuangan buruh dan dinamikanya. Persoalan yang mencuat di tengah perjuangan
buruh domestik kita selalu menyisakan pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai.
Belum lagi persoalan yang dialami para pekerja migran indonesia(PMI) yang tak
selalu mendapatkan penyelesaian final. Bagaimana relasi kekuasaan dalam
perjuangan kaum buruh kita?
Gerakan di hari buruh menjadi gerakan momentum. Para buruh tak muluk,
mereka sekadar ingin mendapatkan penghidupan dan penghasilan yang layak. Ulasan
ini akan fokus ada fenomena maraknya persoalan pekerja migran indonesia(PMI) di
luar negeri. Persoalan yang dialami oleh PMI tak selalu mendapatkan respon
positif dari pemerintah. Acap kali persoalan yang PMI alami di negeri orang, berakhir
dengan hal tragis. Misalnya pembunuhan, penyiksaan. dan kasus pelecehan.
PMI atau buruh migran kita di luar negeri ternyata menjadi penyumbang
devisa negara cukup besar. Mereka yang datang dari berbagai desa dengan
berbagai persoalan ekonomi yang menderanya, tak pernah terbesit dengan istilah
devisa. Banyak faktor yang melatar belakangi seseorang menjadi PMI. Khususnya
para pekerja wanita atau tenaga kerja wanita(TKW) yang mendominasi menjadi PMI
nonfromal. Artinya mereka bekerja di sektor rumah tangga sebagai asisten rumah
tangga.
Faktor ekonomi menjadi utama dalam mendorong calon PMI ke luar negeri.
Berikutnya faktor rendahnya keterampilan teknis formal yang tak dimiliki dengan
minimnya lowongan pekerjaan di dalam negeri. Bahkan persoalan gengsi sosial
untuk sekada rmengubah nasib lebih baik menjadi motivasi yang tak terbantahkan.
Lantas apa sebenarnya perjuangan yang mereka lakukan?Ada pergeseran dalam dunia
PMI kita. Saat ini para buruh migran atau PMI didominasi para TKW.
Perspektif gender barangkali menjadi salah satu pemicu naiknya minat
menjadi PMI di luar negeri. Para tenaga kerja wanita ini nekad bekerja di luar
negeri karena faktor kebutuhan ekonomi. Pasca pandemi misalnya tak sedikit yang
kehilangan pekerjaan dan akhirnya wanita di keluarga bertekad membantu peran
suaminya. Meski dominasi patriaki tak bisa hilang begitu saja. Bahwa laki-laki
lebih bisa dan dipandang lebih mampu. Akan tetapi seiring kebutuhan dan
dinamika kehidupan, wanita mengambil peran sebagai penyokong ekonomi keluarga
yang tak bisa dianggap enteng.
Relasi kekuasaan patriaki di keluarga lambat laun luntur. Tenaga kerja
wanita sata ini banyak dibutuhkan. Baik disektor formal maupun non formal.
Bahkan tak sedikit yang menjadi PMI di beberapa negara tujuan, antara lain di
Hongkong, Singapura, Malaysia, Brunei, Taiwan, bahkan di negara Jordania dan sekitarnya.
Ironisnya,
tak semua PMI berhasil. Bahkan tak sedikit yang harus berurusan dengan hukum.
Baik sebagai korban maupun terjebak keadaan. Bahkan ada pula yang selesai
kontrak tapi tak memiliki biaya untuk pulang. Ada pula yang ditelantarkan oleh
agen PMI yang tak bertanggungjawab. Lalu bagaimana persoalan di pandang sebagai
persoalan gerakan perjuangan nasib buruh migran?
Jumlah pekerja migran Indonesia diperkurakan sebanyak 3,37 juta orang
hingga kuartal III/2022. Jumlah itu meningkat 2.4 persen dibandingkan sepanjang
tahun 2021 yang sebanyak 2. 35 juta orang (sumber : https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/jumlah-pekerja-migran-ri-337-juta-orang-hingga-kuartal-iii2022).
Lebih lanjut berdasarkan rilis https://dataindonesia.id/, jumlah PMI terbesar menempati negara Malaysia, yakni
1. 64 juta orang. Baru kemudian Arab Saudi dengan jumlha, 836.00 orang. Lalu
sebanyak 322.000 juta migran kita di Hongkong. Ada pula 318 pekerja migran di
Taiwan. Sedangkan di Sinagpura dan Yordania sebanyak 95.000 dan 43.000 orang.
Terakhir di Uni Emirat Arab sebanyak 38.000 orang.
Dengan jumlah itu, bukan pekerjaan mudah mengelolanya. Bahkan diyakini
angka PMI itu mampu menyumbang devisa negara cukup banyak. Lantas, bagaimana
pula dengan munculnya persoalan nasib tak baik pada buruh migran kita?
Baru-baru ini kasus PMI kita yang disiksa oleh majikannya cukup menyita
perhatian publik. Seorang pekerja wanita asal NTT yang 9 bulan tak digaji saat
bekerja di Malaysia. Selain bekerja di majikannya DN juga dipekerjakan di
bengke mobil milik majikannya.Ia harus bekerja 15 jam sehari tanpa istirahat.
Bahkan ia mendapatkan siksaan yang keji. Hingga akhirnya ia bisa melarikan diri
dari majikannya. Bahkan kasus berlanjut ke pengadilan. Namun lagi-lagi keadilan
belum berpihak pada PMI kita. Tuntutan pembayaran gajipun masih di bawah
kelayakan. Di bawah pendampingan KBRI di Malaysia, kasus ini menjadi sorotan
internasional.
Itu hanya satu dari banyaknya kasus penyiksaan dan pesakitan yang dialami
oleh tenaga kerja kita di luar negeri. Persoalan PMI bukan hanya gaji atau
penyiksaan, namun ada indikasi perdagangan orang dalam kedok PMI ilegal.
Lagi-lagi, tenaga kerja wanita (TKW) menjadi korbannya. Apakah persoalan buruh
migran/ PMI ini akan didiamkan?Sedangkan mereka penyumbang devisa cukup besar
pada negara?Pemerintah selayaknya memberikan jaminan yang maksimal terhadap
nasib PMI di luar negeri. Bukan sebaliknya sekadar formalitas yang kadang mudah
hilang dari pemberitaan.
Relasi kekuasaan cukup kental dalam merumuskan regulasi pelindungan buruh
PMI. Maka,pemerintah harus andil dan intervensi maksimal agar pelindungan PMI
di luar negeri bisa maksimal. Sehingga mimpi indah PMI di luar negeri bisa
menjadi kenyataan. Perlu diingat, motivasi ekonomi keluarga menjadi kunci
mereka pergi menjadi PMI.
Bentuk relasi kekuasaan pemerintah antara lain dalam merumuskan regulasi,
melalukan pelindungan PMI melalui pembentukan satgas, memantau kinerja satgas,
menyediakan anggaran yang cukup, dan bantuan hukum di luar negeri lebih
maksimal. Bahkan upaya diplomasi yang lebih bagus diharapkan menjadi titik
terang nasib baik PMI.Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar