Karya: Delia (8C)
Aspen sempurna, dalam segala hal. Tapi di balik fasad itu dia adalah seorang pria yang rusak, yang terobsesi untuk mempertahankan citra tanpa cela itu. Ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginannya, dia menyerang dan akan menyakiti orang lain.Ferbiana adalah satu-satunya wanita yang menyadari hal ini. Mereka berdua adalah teman masa kecil. Ferbiana selalu menghiburnya, dan akhirnya, Mereka berdua menjadi sesuatu yang lebih, berteman dengan manfaat
Tapi hari ini, Ferbiana pergi ke kelas Aspen untuk melihat aspen, Ferbiana melihat Aspen menggendong seorang gadis di pangkuannya. Seisi kelas menonton dengan penuh minat.
Ferbiana membelah keramaian
diantara
Aspen dan wanita di pangkuannya,
bahasa tubuh dan ekspresi gadis itu tenang, tak terganggu atau tertarik,
untuknya yang nyaris 24/7 hidup di dekat Aspen, tontonan itu bukan hal
mengejutkan lagi.
Langkahnya berhenti di samping
meja Aspen, Ferbiana menatap langsung matanya, mengabaikan wanita di pangkuan
laki-laki itu seolah, tidak pernah ada di sana.
"Waktunya pulang, kau akan
pulang bersamaku, atau tidak hari ini?"
Ferbiana hanya bertanya, itu bukan
sebuah ajakan, seperti itu lah ia dan Aspen, sejak sekolah dasar, tak berubah.
Gadis di pangkuan Aspen tampak terkejut
dengan kedatangan Ferbiana yang tiba-tiba, tapi Aspen hanya menatap Ferbiana,
tidak terpengaruh. Ferbiana bisa merasakan ketegangan antara mereka bertiga dan
siswa lain yang memperhatikan mereka, tapi seolah-olah itu tidak masalah. Tidak
ada yang penting kecuali Aspen sekarang.
"Ya, aku akan pulang
bersamamu," Aspen akhirnya berkata, dan gadis itu tampak cemberut.
Ferbiana hanya mengangguk,
kemudian berbalik dan keluar dari kelas itu lebih dulu, menunggu Aspen di depan
pintu.
Ekspresinya tak berubah, dan tak
terbaca. Seluruh kelas terus menatap mereka
berdua saat Aspen dan Ferbiana pergi, terutama gadis itu. Ferbiana bisa merasakan
tatapannya membara ke punggungnya saat Ferbiana keluar dari kelas bersama
Aspen. Begitu berada di luar, Aspen masih
tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, tapi saat mereka berdua mendekati
tempat parkir, dia akhirnya angkat bicara.
"Bisakah kita bicara? Secara
pribadi?" tanya Aspen.
"Ya."
Ferbiana tidak banyak bicara, tidak berekspresi banyak, dia hanya mengikuti kemana Aspen pergi, dan dia hanya memenuhi apa yang Aspen inginkan.Aspen membawanya ke ruang kelas kosong terdekat, lalu menutup pintu di belakangnya.
"Apakah kamu tahu mengapa aku
berkencan dengan gadis itu?" tanya Aspen. "Ami, dari regu pemandu
sorak."
Ferbiana sedikit memiringkan kepalanya, menatap setia mata Aspen tanpa jeda menatap arah lain
"Aku tahu, Ami populer, dia
sempurna, dan kau menyukai kesempurnaan, karena itu, kau mendekatinya."
Suara Ferbiana tenang, nyaris tak
beremosi.
Aspen mengerutkan kening dan menutup matanya, seolah frustasi dengan tanggapannya
"Aku bahkan tidak
menyukainya, tapi aku perlu menggunakan dia untuk mendekatimu. Dia bisa
membuatmu cemburu, lalu aku bisa menggunakannya untuk memanipulasi
emosimu."
Aspen menatap Ferbiana kosong,
seolah dia tidak mengerti mengapa Ferbiana tidak kecewa dengan pengakuannya
ini. Tidak ada yang berubah dari
ekspresi Ferbiana, timbul segaris senyum samar, tatapannya melembut.
"Sekalipun aku cemburu aku
tidak akan menunjukkannya padamu." ucap Ferbiana dengan ekspresi tidak
berubah.
Kerutan di wajah Aspen berubah
menjadi senyum sinis, dan dia menatap Ferbiana dengan tatapan penuh perhitungan
di wajahnya.
Ah, benarkah?" kata Aspen
sambil tertawa kecil. "Kamu akan terkejut seberapa jauh aku akan membuatmu
cemburu. Aku akan mencium Ami di depanmu, merayunya tepat di depan wajahmu,
membuatmu melihat kita di tempat tidur bersama. Itu hanya akan menjadi lebih
buruk dari sini."
Ferbiana mengikis jarak diantara mereka sampai tangannya dapat meraih wajah Aspen, tangannya yang dingin meyentuh lembut, sekilas ekspresinya nampak tak berubah, tapi ada sendu dalam tatapannya kali ini.
"Tolong, berhenti membuat dirimu semakin rusak dengan mengacaukan perasaan seseorang yang tak tahu apa-apa. Jika kau ingin membuat seseorang rusak sepertimu, cukup gunakan aku." ucap Ferbiana dengan ekspresi tetap sama.
Aspen mendengus, dan menyingkirkan
tangan Ferbiana dari wajahnya.
"Aku tidak menyakiti diriku
sendiri dengan melakukan ini."
Aspen berkata, "Ami sama
sepertiku, dia manipulatif, ular berhati dingin. Dia senang melakukan ini,
melihat orang lain menderita. Dia senang melihatku membuatmu cemburu. Itulah
sifat aslinya."
Aspen tertawa, menyilangkan tangan
dan bersandar di kursinya.
"Aku tidak membutuhkan orang
lain untuk
Ferbiana menunduk, menatap kedua
tangannya dengan tatapan kosong.Hening, sampai beberapa saat kemudian Ferbiana
menoleh pada Aspen, tersenyum, dengan tatapan kosong yang tak hidup.
"Kau sudah berhasil,
membuatku sakit. Kau bahkan terus menyakitiku disaat tidak ada lagi celah untuk
dilukai, Aspen."
Senyum Aspem memudar saat dia melihat
Ferbiana, bingung dan sedikit khawatir. Dalam kemarahannya karena kurangnya
kecemburuan Ferbiana, dia tidak
menyadari bahwa kurangnya reaksi
Ferbiana mungkin berarti sesuatu yang lain.
"Tunggu, jangan
bilang..." kata Aspen perlahan, kerutan samar melintas di wajahnya.
"Tidak, itu tidak mungkin. Aku mengenalmu lebih baik dari itu!"
"Aah... Aspen, kau terlalu
fokus untuk menjadi sempurna, dan menyakitiku dibalik kesempurnaan itu, sampai
mungkin kau tidak menyadarinya, kapan terakhir kali aku tertawa, kapan terakhir
kali aku tersenyum seperti seharusnya, kau sangat menikmatinya ya?"
Suara Ferbiana tenang, tapi
siapapun orang waras yang mendengarnya pasti dapat merasakan lelah yang teramat
ketika mendengarnya.
Rahang Aspen jatuh. Ferbiana
benar, kapan terakhir kali dia melihat Ferbiana benar-benar bahagia? Dia tidak
ingat. Selama beberapa tahun terakhir ini, saat dia menggunakan dan
memanipulasi Ferbiana, Ferbiana tidak pernah mengeluarkan tawa atau senyuman
yang tulus. Bahkan sekarang, saat Ferbiana seharusnya terluka, namun kamu
terlihat begitu tenang dan santai...
"Sialan, apakah aku
benar-benar melakukan itu?" Kata Aspen, menatapnya dengan ekspresi
khawatir di wajahnya. Apa yang telah dia lakukan padanya selama bertahun-tahun?
Apa yang dia lakukan pada sahabat masa kecilnya, satu-satunya yang bisa dia
percayai?
Ferbiana hanya tersenyum, ah tidak, dia hanya menarik kedua sudut bibirnya, membuat-buat senyuman.
"Tidak masalah jika itu membuatmu senang, Ferbiana senang saat Aspen senang."
Suara Ferbiana, kini benar-benar
tanpa emosi, dia mungkin lelah, bahkan kalimat terakhirnya terucap dengan
lemah, hampir hanya terdengar bisikan, kalimat terakhirnya adalah apa yang
sering dia katakan saat mereka masih anak-anak, hanya saja dulu Ferbiana mengatakan
itu dengan senyum cerah di wajahnya, tapi kini senyum cerah itu hilang.
Aspen tidak bisa mempercayai telinganya. Dia menatapnya dengan tak percaya, dan wajahnya memudar saat dia menyadari apa yang telah dia lakukan. Dia perlahan dan tanpa sadar menghancurkan orang yang tepat di depannya.
Tunggu, tidak, tidak, tidak..." kata Aspen panik. "Kamu tidak seharusnya bahagia karena aku, kita seharusnya bahagia bersama!"
Suara Aspen dipenuhi keterkejutan
dan keputusasaan. Seolah-olah dia sedang melihat versi dirinya yang dia kenali,
namun benar- benar asing pada saat yang sama.
Bibir Ferbiana terbuka, tapi tidak mengatakan apapun untuk beberapa saat, sampai tiba-tiba, air matanya luruh begitu saja di pipinya, kini ada ekspresi di wajahnya, hanya saja, ekspresi itu menyiratkan luka dalam, rasa lelah, dan frustasi yang begitu berat, yang selama ini dia sembunyikan rapat-rapat dari Aspen.
"Aspen, sakit... Ferbiana, lelah."
Ferbiana menangis seperti ketika
mereka masih anak-anak, bahkan caranya bicara juga, mungkin karena, kenangan
indah hanya tertinggal ketika mereka masih di saat itu.
Mata Aspen terbelalak saat dia
melihatnya hancur. Ferbiana berbicara dengan cara yang tidak pernah dia dengar
selama bertahun-tahun, menggunakan kosakata dan nada seperti anak kecil yang
hanya dia gunakan ketika mereka masih kecil.
Apa yang telah dia lakukan?
"Ferbiana, kamu tidak perlu bicara seperti itu. Tolong, bicaralah seperti biasanya. Ini aku, Aspen." kata Aspen, berusaha menghiburnya. "Biarkan semuanya keluar, aku di sini untukmu." ucap Aspen sambil mendekat ke arah Ferbiana
Pikiran Ferbiana kosong, dia tidak
mengatakan apapun lagi, itu seperti puncak penderitaan yang akhirnya meletus,
Joevva merasa tubuhnya remuk, dadanya sesak, kepalanya seperti dihantam tongkat
besi, dia tersiksa.
Aspen memeluk Ferbiana dengab erat.
"Ssst, tidak apa-apa. Kamu
tidak perlu mengatakan apa-apa, sandarkan saja kepalamu di pundakku."
Suara Aspen menenangkan dan lembut, seperti yang sering dia lakukan untukmu di masa lalu "Keluarkan semuanya, Ferbiana."
Pelukan Aspen mengundang Ferbiana menangis semakin keras, mengungkapkan segalanya dengan tangisan, rasa sakit, kemarahan, kekecewaan, kesedihan, dan kerinduannya.
Saat Ferbiana menangis di bahunya,
Aspen hanya memeluknya erat dan mengayunkannya perlahan ke depan dan ke
belakang. Seolah- olah mereka telah kembali ke masa kecil mereka, ketika Aspen
menghibur Ferbiana setelah melewati masa-masa sulit.
Ssst, tidak apa-apa teruslah menangis aku akan menjadi gulingmu agar kamu bisa memelukku sambil menangis" kata Aspen, dengan nada menenangkan yang sama seperti sebelumnya. "Tidak apa-apa, aku di sini untukmu."
Wajah Ferbiana terkubur di bahu Aspen, laki-laki itu tidak akan pernah melihat, dan mengetahui ekspresi seperti apa yang terlukis di wajah gadis itu saat ini.
Ekspresi kepuasan dan gairah,
wajahnya memerah kesenangan meskipun dia terus berakting menyedihkan, matanya
menjadi hidup seketika dalam kenikmatan dari manipulasi yang dia buat.
Selama ini dia dimanipulasi oleh
orang yang dia manipulasi, akhirnya kini dia yang menang, Ferbiana yang
memegang kendali.
"Aah~ Lihat, siapa yang mengendalikan siapa? Pfft-!" Ucap Ferbiana lalu tersenyum mereka berdua saling tersenyum dengan memandang satu sama lain.
Ferbiana yang telah menang yang
sekarang telah memegang kendali Aspen.
karena Aspen berjanji akan selalu
bersama di samping Ferbiana dalam keadaan apapun.